Menguak Surga Tersembunyinya Indonesia: Alor, NTT

                                                                    Sumber: Dok. Kemenpar


Dalam hidup, sejatinya manusia, pasti banyak yang diinginkan – terdorong oleh nafsunya. Salah satu dari banyak kemauan manusiawiku ialah memuaskan nafsu keingintahuanku untuk menghantamkan kakiku ke daratan yang asing bagi nertraku. Kemudian bertukar kata dengan Bahasa yang masih banyak harus kupelajari   – berbagai teori linguistiknya yang berbeda dengan bahasa Ibu hamba – kemudian daksaku ingin mempelajari budaya yang menjadi saksi bisu lahirnya peradaban kota tersebut. 


Ya, mencari dan menemukan ada hal apa diluar sana yang tlah Tuhan ciptakan tuk manjakan keinginan egois manusia, ialah salah satu dari banyak kemauan yang ingin kulaksanakan sebelum malaikat maut menyambut. Travel plan impianku adalah pergi ke tempat yang tidak banyak orang tahu. Kelihatannya sok iye. Tapi entah, ada kebanggan tersendiri pergi ke suatu tempat yang belum terlalu populer di khalayak orang banyak. Seakan-akan kita adalah satu dari orang spesial yang ‘terpilih’ untuk bisa menyaksikan keindahan alam tersebut (padahal jika lebih realis, pasti lumayan banyak juga yang pernah berkunjung ke tempat wisata ini, haha) 


Nama wisata yang merupakan Surga Tersembunyi – mungkin, jika Pemerintah mau memberikan investasi yang besar pada kota dan wilayah yang berpotensi besar ini, Surga ini tiada akan sembunyi lagi, hehe – ini bertempat di Alor, Nusa Tenggara Timur. Tempat-tempat wisata disini identik dengan baharinya dengan air asin yang sejernih kaca. Harapku pemandangan biru suci laut ini bisa melunturkan kepenatan kehidupan kuliah sehari-hari dari pikiran jenuhku. 


Tentu saja, sebelum melakukan sesuatu, segala hal harus direncanakan dulu jika tidak ingin hal-hal tidak mengenakkan terjadi. Salah satu dari banyak hal penting yang harus disiapkan jika ingin berpetualang ialah: timing! Menurut penduduk sekitar, waktu paling tepat untuk berkunjung ialah pada bulan Maret-November. Pasalnya, bulan Oktober-Februari akan terjadi fenomena yang dinamakan ‘Arus Dingin’. Fenomena arus dingin ini menyebabkan arus bawah laut yang berasal dari selatan Samudera Hindia, mengalir ke khatulistiwa. Hal ini menyebabkan ikan-ikan ‘mabuk’ dan mengambang ke permukaan. Selat Pantar pada fase arus dingin ini akan mustahil untuk diselami. 


Bayangkan sudah memiliki ekspektasi tinggi tentang menyelami dalamnya air yang menyegarkan, berdansa bersama ikan-ikan. Kemudian, ketika sampai disana menemukan ikan-ikan tersebut  mengambang di permukaan laut, mabuk atau bahkan mati. Alat diving kita yang awalnya sangat antusias untuk pakai jadinya menganggur terbengkalai. Awalnya suasana hati kita yang harusnya cerah seperti hari pertama musim panas, tiba-tiba awan cumolonimbus datang tak diundang mengeluarkan hujan badai lebatnya, hati jadi bete total, jangan sampai ya! 


Tentu saja, surga dunia ini – untuk mencapainya, perlu dilakukan effort yang lebih. Lagipula, surga mana sih yang bisa dicapai tanpa effort? Hehe. Untuk mencapai NTT, Alor, dari Surabaya, dibutuhkan transit ke banyak tempat lebih dahulu sebelum akhirnya mencapai lokasi tujuan. Kurang lebih hari yang akan habis karena transportasi adalah dari 4 sampai 7 hari, itupun harganya bisa mulai dari 450 ribu rupiah. Oke, tiada mengapa, hidup itu ujian.


Ketika sampai di Surga dunia alias Alor, NTT alias Kabupaten yang dijuluki Bumi Kenari ini, destinasi wisata pertama yang akan aku kunjungi ialah Pantai Mali. Di pantai yang bertempat di desa Kabola, kecamatan teluk mutiara ini, aku bisa bertemu Mawar. Waduh, siapa tuh Mawar, apakah dia seseorang spesial, do’i nya someone?


Yep! Mawar is someone special. Sebenernya, Mawar adalah duyung laut yang berhabitat disana.  Pemakan Lamun ini tapi tidak bisa kalian dekati dan main-main secara langsung lho, Mawar ini memiliki hati seperti permpuan. Ia sensitif, cepat tersinggung dan akan merasa marah apabila ia merasa terganggu. Karena itu untuk melihat Mawar, si dugong lucu ini, ada pawangnya biar si Maar ini bisa dipanggil buat keluar. Mawar emang se-spesial itu sih, sampe dibikinin Perbup Kabupaten Alor No. 7/2018 yang mengatur tentang interaksi Mawar dan wisatawan. Salah satu dari banyak peraturannya ialah wisatawan tidak boleh berenang atau menyelam di habitat duyung, memegang, memberi makan apalagi membuang sampah sembarangan di pesisir pantai menuju habitat Mawar. Budayakan disiplin ya, teman-teman! Jika memang tidak ada tempat sampah di sekitar kalian, bungkus chiki nya ditaruh di tas dulu, jangan malah di buang di pasir pantainya. Kasihan bumi pertiwi ini yang akan menangsi lebih keras jika kalian berbuat begitu.


Oke, jadi, kita mengunjungi Mawar. Untuk berapa lama? Pertama, kita akan naik ke perahu bersama Pawang. Kemudian sang Pawang akan memanggil sang dugong, dan Mawar akan muncul ke permukaan dan berenang-renang ke sekitar perahu, menyemburkan air ke permukaan laut. Atraksi ini berlangsung dari 7 sampai 10 menit. Saat-saat Mawar berkeliling dengan ria ialah saat yang tepat untuk mengabadikan momen dengan kamera… meskipun dalam kenyataannya, saat menulis ini, aku belum mempunyai kamera karena kendala finansial. Mungkin kendala finansial tersebut bisa dibantu dengan memenangkan lomba essay travel plan, waduh, lomba essay apa tuh.


Berikutnya, setelah netra segar memandangi Pantai Mali yang indah, dopamin berhasil meningkat karena selesai berinteraksi dengan Mawar, destinasi selanjutnya yang aku pikirkan ialah pergi ke pantai lain. Eits, pantai ini berbeda dengan Pantai Mali. Pantai ini dinamakan Pantai Batu Putih, kenapa? Ya… karena di sekitar pantainya dikelilingi oleh tebing bewarna putih, kalo warnanya rainbow mah namanya jadi Pantai Batu Pelangi wkwkw. 


Anyway, di tebing-tebing bewarna putih ini, bisa dibuat berteduh bagi orang-orang berwatak vampir, eh, yang ga terlalu suka lama-lama dipanggang oleh sinar milik sang Surya maksudnya. Tebing putih yang berbentuk seperti goa ini akan menjadi pelindung manusia vampir yang sangat bisa diandalkan. Selain tebing bewarna putihnya, pasirnya juga tak kalah putih bersih. Belum lagi hamparan laut yang biru, melihat warna biru azure yang indah, milik lukisan dari Tuhan sendiri memang tidak terkalahkan. Sebelum itu, cekrek cekrek dulu, ke tebing batu putih dan ke lautannya yang memikat hati. 


Pemandangan seperti inilah yang bagus untuk referensi menggambar. Aku sangat suka menggambar pemandangan, dan sebenarnya itulah salah satu alasanku menginginkan kamera, agar bisa mengambil banyak foto referensi. Karena rasanya tuh, menggambar dari foto jepretan sendiri itu lebih spesial daripada hasil nyomot jepretan orang lain di internet, kan? Aku tidak sabar mengaplikasikan brush bewarna biru muda, biru tua, nge-blending, kemudian diberi efek luminosity agak keorenan saat mewarnai lautannya, sebagai efek terpapar sang Mentari di aplikasi menggambar digitalku. Mungkin, kalau suatu hari dompetku menggemuk sedikit, aku juga akan membeli watercolor untuk menggambar versi tradisionalnya, hehe.


Pesona Pantai Batu Putihnya tidak terhenti pada tebing-tebingnya yang memukau saja. Untuk mengarungi lautannya yang penuh dengan beragam biota lautnya, disewa kapal nelayan di sekitar pantai ini. Untuk menyewanya, pengunjung hanya perlu menyiapkan 1 uang biru, alias Rp 50.000, hehe. Worth it lah, untuk siapa tahu mendapatkan kesempatan melihat ikan-ikan yang bisa kelihatan karena jernihnya air pantai tersebut, dan mengalami sensasi dimana di sekelililngmu tiada apapun kecuali kamu, lautan, dan cahaya matahari. Tidak lupa jua serta merta mengambil beberapa jepretan yang membuat hati mencelos karena keindahannya. 


Pantai biasanya identik dengan apa sih? 100. Snorkeling, dan diving. Jikalau aku sudah sampai disini, kenapa  kutidak ambil kesempatan untuk melakukan salah satu dari 2 hal itu? Dengan diving mask dan wetsuitku, akan kumasukkan daksaku kedalam dinginnya H2O. Menyapa beberapa penghuni laut, berdansa dengan mereka di bawah teriknya matahari (jangan diajak minum teh dan bermain catur, entar dikira miring sama diver yang lain). Mungkin juga, mengabadikan momen bersama mahkluk-mahkluk Tuhan yang indah tersebut dengan camera sport milikku. 


Kemudian, setelah puas bermain air, destinasi wisataku yang ketiga ialah mengunjungi Pulau Kepa, pulau kecil sebelah Pulau Alor. Nah, untuk sampai ke pulau ini bisa mengenakan Motor Boat. Lah, kenapa ga pake helikopter atau jet pribadi aja? Karena kalo itu mah khusus buat kaum Rafathar. Kalo di aku, ntar dompetku malah nangis kejer. Pulau ini hanya dihuni oleh 30 jiwa, jadi bagi kalian yang penat banget sama hiruk pikuk kota, capek tiap hari berdesak-desakan dengan orang di angkutan umum, atau kalau ke mall sumpek ngeliat banyak orang jalan kesana kemari, bisa banget ‘istirahat’ di Pulau Kepa. Dijamin pikiran bisa refresh, dan yang pastinya, penduduk sekitar sangat ramah dengan pendatang baru.


Sudah menjadi ciri khas Alor, lautannya pasti bening dan jernih, membuat netra kamu ingin terfokuskan disitu saja di waktu yang tiada terhingga. Di pulau ini juga, jetski bisa disewa dan dipakai untuk berkeliling membelah lautan. Tapi harus kuat aja muka sering-sering kecipratan deburan air. Dan jika momentumnya tidak cocok, badan bisa jatuh, termakan lautan, waduh. 


Setelah puas main air serta menuruti kemauan kulit yang sudah mnegerut parah karena bertemu air melulu, aku merencanakan ingin berleha-leha di pondok sekitaran pantai yang dibangun disitu. Pondok-pondok ini dirancang seperti desa tradisional di Alor. Setelah mengambil gambar dengan kamera kesayanganku di masa depan, aku akan mengistirahatkan badan di gubuk yang dibangun dengan bambu tersebut, seraya melihat-lihat hasil foto untuk hari ini. Seraya waktu berlalu, angin terus membelai pipi, dan matahari akan tenggelam di arah barat. Waktunya menyiapkan kamera lagi untuk mengabadikan semburat oranye, biru, dan putih yang telah Tuhan lukis di kanvas miliknya. Cekrek. 



Sumber: Detiktravel

Badan udah di charge sampe 100% nih setelah semalaman beristirahat di resort sekitaran Pulau Kepa. Sebelum jam 5 seperempat pagi hari, aku akan duduk di atas pasir putih dengan kamera di tangan, dan mulai menjepret senja untuk kedua kalinya. Kaki telanjangku kubiarkan merasakan deburan obak yang membelai jari jemari. Kemudian, aku akan meninggalkan Pulau Kepa dan kembali lagi ke Pulau Alor. Selamat tinggal, Pulau Kepa, I’ll miss you!


Destinasi 2 dari yang paling bawah ialah menunjungi sebuah kampung tradisional yang memang sudah hitz di kalangan wisatawan: Desa Takpala. Karena backgroundku adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, tentu aku sudah excited dengan prospek ini, rasanya sudah tidak sabar bertemu dengan warga sana, dan mengabadikan serta memelajari berbagai kebudayaan unik mereka. 


Takpala berasal dari dua kata: Tak artinya memiliki batasan, Pala artinya Kayu, jika digabungkan artinya kayu pembatas. Takpala juga mempunyai arti kayu pemukul. Kampung tradisional ini berada di Desa Lembur Barat, dan dihuni oleh sekitar 13 kepala keluarga Suku Abui. Suku Abui sendiri merupakan suku terbesar di Alor. Abui juga bisa disebut juga Tak Abui, yang mempunyai arti Gunung Besar.


Saat memasuki wilayah tersebut, pasti netra kalian akan disuguhi dengan pemandangan rumah tradisional dengan atap berbentuk limas dan bangunan yang didominasi oleh ayu. Atapnya sendiri terbuat dari ilalalng terbuka. Rumah unik ini disangga oleh 6 tiang kayu merah, dan rumah-rumah ini disebut lopo. Ada 2 jenis lopo, kolwat dan kanuruat. Kolwat terbuka untuk umum, siapapun diperbolehkan masuk. Sedangkan kanuruat hanya untuk kalangan tertentu. Mata pencaharian rakyat sekitar kebanyakan adalah berladang dan berburu.


Selain melihat pemandangan rumah adat dan warga sekitar yang mengenakan kain tradisional yang ditenun dengan tangan, lengkap dengan gelang kaki dan penutup kepala mereka. Kita juga bisa menyaksikan sendiri kebudayaan mereka. Saat masuk, telinga kita akan dirasuki oleh suara gemerincing gelang kaki yang para penari sematkan di kaki mereka. Para wanita akan menari tarian tradisional mereka, yang tentunya akan membuat pengunjung merasa kagum sampai-sampai muluttak sadar membentuk huruf O. Sedangkan syair-syair yang menemani tarian yang tersebut akan dilantunkan oleh para lelaki. Mereka akan beratraksi dengan berbagai senjata dan perisai di tangan. Sesekali mereka akan menghentikan tarian, menandakan ini waktu bagi para wisatawan untuk mengikuti tarian penduduk secara perlahan.


Selain pengalaman yang mengesankan, tentu kita bisa membawa oleh-oleh untuk dibawa pulang ke keluarga kita. Barang yang bisa dibondong pulang disini ialah tas fulak, tas dari anyaman bambu yang biasa digunakan masyarakat sekitar untuk menyimpan uang atau membawa sirih pinang. Tas fulak ini juga biasanya digunakan oleh penari taril ego-lego.


Ketika anak laki-laki, suami dan kakak laki-laki mereka sibuk berburu ke hutan, para istri, ibu, dan adik perempuan Suku Abui ini umumnya melakukan aktivitas menenun. Tenunan mereka sangat indah, dan ada berbagai macam varian, ada bunga, kepiting, serta ikan. Dijamin, dengan membawa salah satu atau bahkan, lebih dari satu, tenunan ini, akan mengingatkan kalian terus pada pengalaman tidak terlupakan di Desa Takpala. Tenun ikat ini bisa dibanderol mulai dari Rp. 150.000.


Destinasi terakhir! Sebenarnya, aku tidak ingin ini menjadi destinasi terakhirku di Alor, Nusa Tenggara Timur. Aku ingin berlama-lama sekali disini, tapi pasti pekerjaan, kuliah dan kehidupan lain akan mengejarku tanpa ampun. Jadi daripada jantungku berdegup kencang karena pekerjaan yang menumpuk, aku harus mengucapkan selamat tinggal pada surga tersembunyi di tanah air ini. 


Destinasi terakhir ialah air mancur Tuti Adagae yang terletak di kecamatan Alor Timur. Kenapa ini jadi destinasi terakhir? Karena ini adalah tempat yang paling pas untuk melepas penat setelah mengarungi lautan biru yang dingin dan berjalan jauh mengelilingi Desa Takpala. Kenapa begitu? Yuk lanjut baca aja yuk, hehe. Sebelum sampai ke destinasi, mata kita akan dimanjakan oleh kehijauan dari Hutan Kenari. Hutan ini juga pas banget untuk dibuat berteduh. 


        Sumber: edyraguapo.blogspot.com


Ini adalah destinasi wisata dimana kita dapat melihat sumber mata air panas mencuat dari dasar bumi, atau istilah ilmiahnya, Geitser. Sumber mata air ini menembak langit dari tumpukan batu bewarna keoren-orenan merah yang biasa disebut masyarakat sekitar seperti lubang semut. Sebenarnya, ini bukan lubang semut sih, karena kalo beneran kan kasian semutnya tenggelam mulu, airnya panas lagi.


Tumpukan batu keorenan ini adalah hasil tumpukan batu dari masyarakat sekitar yang menyusun batu di sekitaran sumber mata air panas tersebut. Mereka percaya, jika tumpukan batu itu tidak jatuh, maka keinginan baiknya akan terkabul. Nah, sedangkan di tumpukan batu itu kan terkena air terus-menerus, sehingga menyebabkan tumpukan batu itu lengket, sehingga menjadi seperti ‘lubang semut’, gitu deh.


Ada pula sumber mata air yang mengeluarkan suara menggelegar bak knalpot motor moge. Siap-siap sambil tutup telinga yak! Sumber air panas ini bisa mencuat hingga mencapai ketinggian 4 meter. Lalu, jika ingin membasuh tubuh disini, suhunya diperhatikan ya! Karena ada yang suhunya bisa mencapai 90 derajat celcius. Ditambahin 10 derajat lagi bisa mendidih tuh air, hati-hati ya!


Tapi bukan berarti semua sumber mata air panas tidak bisa dibuat berendam karena panasnya yang minta ampun loh, ada juga sumber mata air yang bisa dibuat untuk mencelupkan anggota badan disana. Nah, disinilah aku ingin menghilangkan penat setelah banyak berenang dan berjalan-jalan. Saat capek-capek terus berendam di pemandian air panas itu rasanya pasti penat itu seperti kayak pergi jauh-jauh, tidak terlihat lagi. Apalagi pemandian disini mengandung belerang yang sudah dikenal sehat untuk kulit, dan enaknya, bau belerangnya disini tuh tidak terlalu menyengat. Rakyat sekitar percaya jika berendam disini, akan menyembuhkan penyakit kulit. Oiya, disini juga bisa dibuat untuk merebus telur loh, pilih sumber mata air yang panasnya cocok buat ngerebusnya ya, hehe.


Itu saja rencana travel yang aku punya untuk Alor, NTT. Aku harap suatu hari itu bisa menjadi kenyataan, dan bukan hanya tertulis disini sebagai ‘Travel Plan’. Harapku agar kubisa menulis ulang artikel ini dengan pengalaman nyata milikku serta mengganti gambar-gambar yang aku comot di internet diatas dengan foto jepretan hasil kameraku sendiri. Cheers!


*Note: ini adalah essay yang dibuat untuk dilombakan dalam essay Reddoorz. Hanya saja karena kalah, saya memilih untuk upload di Blog pribadi. Tulisan ini juga dimuat di website reddoorz berikut ini.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islamofobia: Penyebab dan Solusinya

Gabut, tapi Tetap Mau Produktif di Saat Pandemi? Download Yummy App aja!

BAGAIMANA SANTRI MELAWAN PAHAM RADIKALISME